vivixtopz

Permisifisme Bathil

In Pojok Jurnalisme on 25/07/2010 at 7:09 pm

Jumat (17/7) pagi, bukan sekedar hempasan debu membuat kelabu Nusantara, tapi hati rakyat Indonesia kembali harus menelan pil pahit dan kepiluan akibat ulah segelintir orang yang tidak “berperadaban” meledakkan bom pararel di dua hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Kawasan bisnis Mega Kuningan Jakarta.

Pesta demokrasi yang tengah menjelang akhir penghitungan resmi, menjadi hambar anti-klimaks tiada kegembiraan. Hati miris dan malu menyaksikan kembali runtuhnya keberadaban bangsa ini di mata bangsa lain.

Bangsa yang sangat terkenal murah senyum, kini kian lumrah dianggap sebagai bangsa barbar, pendedam, penjahat, dan suka membunuh. Mematikan orang menjadi hal biasa. Bangsa yang murah senyum ini, dan mayoritas penduduknya muslim, bahkan terbesar umat Islamnya di dunia, tersibak “kegarangannya”. Stigma muslim Indonesia sebagai Barbarian modern kian memantap.

Setiap kali aksi teror terjadi, hati kebanyakan umat Islam dag-dig-dug, jangan-jangan kembali lagi Islam yang akan dipersalahkan. Betul saja, dan memang selalu begitu arahnya. Sebuah media massa nasional menyebut: bangsa yang mayoritas peduduknya muslim ini sebagai terlalu permisif, hingga terhadap para pelaku teroris sekalipun.

Terbukti, gembong teroris kawakan Noordin M. Top bisa begitu “tentram” hidup di “pengasingan” hingga bisa beranak-pinak dan hidup damai beberapa lama di sebuah dusun nan sunyi.

Permisifisme bangsa Indonesia sebenarnya tidak hanya terhadap para pelaku terorisme, dalam banyak hal juga terjadi. Kejahatan korupsi yang sudah mentradisi, pun disikapi sangat permisif, dan sangat lambat diberantas.

Entah, sikap ini apa tergolong dalam positif thinking yang mengharap pelaku kriminal atau kejahatan akan kembali bertobat di kemudian hari. Atau malah menjadi sikap pembiaran, yang berakibat pada kian membuahnya aneka kejahatan dan kriminalitas di negeri ini yang turun temurun. Warisan kejahatan lama akan diteladani oleh generasi baru, begitu seterusnya.

Apa yang salah dengan bangsa ini? “Lugu”kah? Bisa jadi. Karena “keluguan” bangsa ini yang suka melupakan kesalahan-kesalahan masa lalu. Termasuk catatan kesalahan kebijakan menghadapi kriminalitas dan kejahatan, atau kesalahan instrumen dan mekanisme pencegahan yang tak lantas diperbaiki.

Karena sudah maklum, setiap penguasa berganti, pastilah kebijakan berganti pula. Setiap penguasa baru, akan menelorkan instrumen dan mekanisme yang lagi-lagi “pencegahan” tahap awal.

Terlihat, tiada istiqamah bangsa ini merajut masa depannya. Positif thinking yang sangat bagus, tidak dipraktekkan dalam sikap melanjutkan kebijakan dan hasil-hasil positif pembangunan made by penguasa terdahulu.

Selalu saja rasa dendam dan sakit hati mengalahkan akal sehat untuk melanjutkan berbagai hal yang sebenarnya positif. Dendam dan sakit hati itu pasti disikapi dengan membumi hangus segala “bekas-bekas” dan jasa pendahulu, baik penguasa maupun orang biasa.

Hasilnya, kita tetap terus belajar dari nol. Ketika negara-negara lain sudah sangat maju dalam berbagai hal, kita masih saja berjalan di tempat tanpa perkembangan. Miris bangsa ini tak mampu istiqamah untuk menepis permisifisme bathil. (v2x)

Serambi Agustus 2009

Leave a comment